Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan pencabutan izin usaha PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life/PT WAL). Menurut laporan keuangan 2020, WAL ternyata memiliki ekuitas minus Rp 10 triliun sehingga tidak mampu memenuhi rasio solvabilitas.
Kepala Eksekutif (KE) Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan, hal ini disebabkan PT WAL tidak mampu menutup selisih kewajiban dengan aset, baik melalui setoran modal oleh pemegang saham pengendali atau mengundang investor. Tingginya selisih antara kewajiban dengan aset merupakan akumulasi kerugian akibat penjualan produk sejenis saving plan.
“PT WAL menjual produk dengan imbal hasil pasti yang tidak diimbangi kemampuan perusahaan mendapatkan hasil dari pengelolaan investasinya. Kondisi ini direkayasa oleh PT WAL sehingga laporan keuangan yang disampaikan kepada OJK maupun laporan keuangan publikasi tidak sesuai kondisi sebenarnya,” beber Ogi saat konferensi pers.
Ogi menerangkan, hasil laporan keuangan audited tahun 2019, kewajiban atau liabilitas PT WAL masih dalam kondisi seolah-olah normal yakni Rp 3,7 triliun. Sedangkan aset melebihi kewajiban Rp 4,71 triliun, sehingga ekuitas positif Rp 977 miliar.
Namun demikian, laporan audited tahun 2020 menemukan ada polis yang tidak tercatat dalam pembukuan perusahaan. Ketika polis-polis itu dimasukkan ke dalam catatan laporan keuangan perusahaan, maka kewajiban dari PT WAL pada tahun 2020 membengkak menjadi Rp 15,84 triliun, naik kurang lebih Rp 12,1 triliun. Sedangkan asetnya, naik sedikit menjadi Rp 5,68 triliun, sehingga ekuitas negatif hingga Rp 10,18 triliun.
“Laporan keuangan berikutnya adalah unaudited dan masih menunjukkan bahwa kewajiban jauh lebih besar daripada aset. Tidak bisa ditutup oleh pemegang saham untuk melakukan top up modal ataupun mencari investor baru,” ungkap Ogi.
Kepala Departemen Pengawasan Khusus OJK Moch Muchlasin menjelaskan jumlah nasabah yang terdampak atas pencabutan izin PT WAL. Sejatinya OJK sudah mengantongi data jumlah pemegang polis dan peserta, tapi data itu masih diragukan dan mesti diklarifikasi oleh manajemen.
“Data terakhir kita menemukan ada 28.000 pemegang polis yang dilaporkan dalam di dalam sistem mereka. Dengan kurang lebih 100.000 jumlah peserta. Namun ini kita minta dilakukan sensus dan angka yang masuk 28.000 itu masih ada kemungkinan untuk berubah seiring klarifikasi oleh manajemen,” kata Muchlasin.
Dalam hal ini, OJK menunggu di dalam laporan neraca terakhir yang akan disampaikan oleh perusahaan pasca pencabutan izin. Termasuk untuk menentukan jumlah pemegang polis dan peserta yang sebenarnya.
Pasca pencabutan izin, OJK memerintahkan pemegang saham menyelenggarakan rapat umum pemegang saham dengan agenda pembubaran badan hukum dan pembentukan tim likuidasi. Proses ini diberi waktu paling lambat 30 hari sejak pencabutan izin usaha PT WAL. Jika tidak terselenggara, OJK akan mengambil alih dan membentuk tim likuidasi sesuai kewenangan yang diberikan Undang-Undang (UU).
“Jangka waktu yang diberikan kepada tim likuidasi adalah selama dua tahun, dan dapat diperpanjang dua kali satu tahun. Tapi kami dalam hal ini masih menunggu waktu 30 hari yang diberikan oleh OJK sesuai dengan UU, agar perseroan membubarkan diri dan membentuk tim likuidasi,” beber Ogi.
OJK akan bertindak berupa penilaian kembali pihak utama PT WAL, tindakan administratif terhadap akuntan publik, kantor akuntan publik, dan aktuaris, serta penanganan tindak pidana pencucian uang. Serta melakukan upaya penelusuran atas aset pemegang saham pengendali PT WAL beserta harta pribadinya, termasuk melakukan gugatan perdata untuk kepentingan konsumen. “Hal tersebut dilakukan, sebagai upaya maksimal untuk melindungi kepentingan pemegang polis dengan tetap menjunjung proses hukum dan ketentuan yang berlaku,” tegas Ogi.
Dia menambahkan, sejak dicabutnya izin usaha, PT WAL wajib menghentikan kegiatan usahanya. Namun demikian, Pemegang Polis dapat menghubungi PT WAL dalam rangka pelayanan Konsumen sampai dengan dibentuknya Tim Likuidasi. Tim likuidasi selanjutnya akan melakukan verifikasi polis yang menjadi dasar perhitungan penyelesaian hak pemegang polis.