Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov menilai skema power wheeling yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) tidak memiliki urgensi sama sekali. Apalagi power wheeling sudah ada dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2015.
Sebagai informasi, power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, merupakan sebuah mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT PLN (Persero).
“Usulan skema power wheeling memang sebagai pemanis dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT. Namun kami melihat saat ini kondisinya tidak urgent dengan melihat kondisi existing di PLN saat ini,” kata Abra Talattov dalam diskusi publik yang digelar Indef bertajuk “Masa Depan Sektor Ketenagalistrikan di Pusaran RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan”.
Tanpa adanya “gula-gula” pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Abra mengatakan pemerintah sebetulnya sudah menggelar “karpet merah” bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030.
“Dalam RUPTL paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara dengan 11,8 GW. Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamian bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%,” papar Abra.
Hal kedua yang menjadi catatan Abra, ide penerapan skema power wheeling menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak. Ia melihat saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik, di mana diproyeksikan oversupply listrik tahun 2022 ini saja akan menyentuh 6-7 GW.
Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak, karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 GW. Di sisi lain, kondisi besarnya oversupply tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan demand listrik, di mana pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan demand rata-rata 6,4% per tahun. Namun, realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5% per tahun.
“Tidak hanya itu, imbas skema power wheeling juga akan meningkatkan risiko oversupply listrik akibat tergerusnya demand listrik PLN baik organic maupun non-organic demand,” tambahnya.
Catatan ketiga Abra, risiko melonjaknya oversupply listrik sebagai implikasi skema power wheeling selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan tax payer melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema take or pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.
Tidak hanya itu, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten. Implikasinya, akan timbul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem, sehingga setiap masuknya 1 GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya take or pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara.
“Artinya jika asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48-56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 165-192 triliun,” ungkap Abra.